Talaud, 18 April 2025 – Umat Kristiani di Bumi Porodisa, khususnya jemaat GERMITA Analan Melonguane, menghayati peringatan Jumat Agung dengan khidmat pada Jumat (18/4/2025). Dipimpin oleh Pdt. A.J. Larinse, S.Pak, M.Teol, Ketua III Sinode GERMITA, ibadah ini mengajak ratusan umat merenungi makna terdalam pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Dalam kotbahnya, Pdt. Larinse menegaskan bahwa Jumat Agung bukan sekadar seremonial gerejawi tahunan, melainkan panggilan untuk menghidupi kasih dan pengampunan yang menjadi inti iman Kristiani.
Jumat Agung: Titik Balik Sejarah Keselamatan
Pdt. Larinse menjelaskan, peringatan Jumat Agung adalah momen mengenang perjalanan sengsara Yesus yang berkorban sebagai penebus dosa manusia. “Kematian-Nya bukan akhir, melainkan jalan menuju kebangkitan. Tanpa salib, tidak ada Paskah yang bermakna kemenangan,” tegasnya. Menurutnya, hari ini mengajak umat untuk melihat salib sebagai simbol kasih Allah yang tak terbatas, bukan sekadar tragedi. “Ini adalah puncak cinta Tuhan yang mengubah derita menjadi harapan,” tambahnya.
Dari Duka Menuju Pengharapan
Meski sarat dengan narasi penderitaan, Pdt. Larinse menekankan bahwa Jumat Agung tidak boleh dimaknai sebagai hari berkabung. “Salib adalah pintu menuju kebangkitan. Kita diingatkan bahwa pengorbanan Kristus adalah jawaban atas dosa manusia, sekaligus bukti kemenangan kasih atas maut,” ujarnya. Pesan ini menjadi peneguh iman jemaat yang hadir, terutama di tengah tantangan hidup modern yang kerap mengaburkan makna spiritual.
Ibadah yang Menghidupkan Kembali Kisah Sengsara
Selama ibadah, jemaat diajak melakukan perenungan rohani melalui pembacaan kisah penyaliban, nyanyian pujian bernuansa reflektif, dan doa syafaat. “Kita tidak hanya mengingat, tetapi juga merasakan perjalanan Yesus menuju Golgota. Ini adalah bentuk solidaritas iman,” jelas Pdt. Larinse. Melalui liturgi yang tertata, umat dibimbing untuk menyelami setiap tahapan sengsara Kristus, dari pengadilan hingga penyerahan nyawa-Nya.
Panggilan Meneladani Sikap Kristus
Lebih dari ritual, Jumat Agung menjadi momentum transformasi hidup. Umat diingatkan untuk meneladani kerendahan hati, kesabaran, dan kasih Yesus dalam kehidupan sehari-hari. “Pengorbanan-Nya harus tercermin dalam cara kita mengampuni, melayani, dan berjuang untuk keadilan,” seru Pdt. Larinse. Pesan ini relevan di tengah masyarakat Talaud yang menghadapi dinamika sosial dan ekonomi, mengajak umat menjadikan iman sebagai landasan aksi nyata.
Sinergi Iman dan Tradisi di Bumi Porodisa
Peringatan Jumat Agung di GERMITA Analan Melonguane juga menonjolkan kearifan lokal. Umat yang hadir berasal dari berbagai pelosok Talaud, menunjukkan kesatuan dalam keragaman. “Bumi Porodisa, dari pesisir hingga pegunungan, bersatu dalam merayakan kasih Kristus,” ucap salah satu jemaat. Sinode GERMITA secara konsisten memadukan kekuatan teologis dengan budaya lokal, menjadikan ibadah tidak hanya sakral, tetapi juga kontekstual.
Antara Salib dan Paskah: Sebuah Kontinuitas Iman
Pdt. Larinse menggarisbawahi bahwa Jumat Agung dan Paskah adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. “Salib tanpa kebangkitan adalah keputusasaan, dan Paskah tanpa salib kehilangan makna. Keduanya mengajak kita melihat rencana Allah secara utuh,” paparnya. Pesan ini menguatkan jemaat untuk tidak terjebak dalam simbolisme, tetapi menggali kedalaman iman yang berakar pada sejarah keselamatan.
Warisan untuk Generasi Mendatang
Sebagai penutup, Pdt. Larinse berharap semangat Jumat Agung terus diwariskan kepada generasi muda. “Mereka harus paham benar bahwa pengorbanan Kristus adalah fondasi iman kita. Ini bukan dongeng, melainkan realitas yang mengubah hidup,” tegasnya. Sinode GERMITA berkomitmen memperkuat pendidikan iman melalui kegiatan serupa, memastikan pesan kasih dan pengampunan tetap relevan di setiap zaman.
Tim Penyunting: GERMITA MULTIMEDIA CENTER