Pengantar
Puji dan syukur patut kita persembahkan kepada Tuhan Yesus Sang Kepala Gereja, karena penyertaan-Nya kita boleh berada di sini untuk mengikuti program kegiatan pengkaderan Oikumene di GERMITA. Tujuan kegiatan ini adalah memprsiapkan dan memeprlengkapi para pemimpin gereja mejadi kader oikumene yang memiliki wawasan oikumenis dan kebangsaan, serta mampu melayani dan mendampingi warga gereja dalam menyaksian imannya sebagai pengikut Kristus di tengah berbagai peluang dan tantangan dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Materi ini lebih banyak berbicara tentang Gerakan Oiumene di Indonesia dan tantangan pergumulan-nya dewasa ini. Diharapkan dengan materi ini seluruh peserta dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan gerakan oikumene khususnya di Indenesia dan dan bagaimana para pemimpin gereja (GERMITA) memiliki wawasan oikumenis dan kebangsaan sehingga dapat menjadi Saksi Kristus yang hidup di tengah-tengah kehidupan bangsa dan mayarakat Indonesia yang majemuk baik dari segi agama, suku, golongan, ras, budaya, dsb.
I. Pengertian Oikumene
Secara etimologis, kata oikumene berasal dari bahasa Yunani “Oikos” berarti rumah dan “Manein” berarti diam atau tempat berdiam (to live in). Dr. Hope S. Antone, seorang teolog Asia yang saat ini bekerja di CCA (Christian Conference of Asia), menjelaskan bahwa istilah oikumene berasal dari kata Yunani “oikos”, yang artinya rumah atau dunia; dan kata “manein” , yang berarti to live in, tinggal di alam. Jadi Oikumene berarti: Rumah atau Dunia yang didiami bersama.
Pada mulanya Istilah oikumene adalah sebuah istilah yang digunakan dalam dunia politik. Istilah oikumene ini, menunjuk kepada keseluruhan tempat atau wilayah di bumi yang dihuni oleh manusia. Oikumene dalam zaman Yunani Kuno, di bawah pemerintahan Alexander Agung, ini menunjuk kepada keseluruhan bagian bumi yang di diami oleh manusia. Kata ini sering digunakan untuk menyebut daerah – daerah yang diami oleh orang – orang Yunani, sedangkan daerah yang tidak di diami oleh orang bukan Yunani tidak disebut Ekumene. Dalam bahasa Yunani Koine di bawah kekaisaran Romawi dan dalam PB, kata oikumene secara harafiah artinya dunia, namun yang dimaksud adalah dunia di bawah kekuasaan Romawi.
Hal yang sama dikatakan oleh Josef Purnama Widyatmaja, seorang pendeta yang bekerja di tengah masyarakat “akar rumput” di Solo, Jawa Tengah. Beliau menjelaskan bahwa kita tidak lagi berbicara tentang pengertian “oikumene” dalam konteks Pax-Romana (wilayah dibawa kekuasaan Romawi), seperti yang dikatakan dalam kitab Wahyu 3:10; 12:9; 16:14, tetapi berbicara tentang “bumi” (Yunani: “Ge”), dimana juga orang-orang dari bermacam agama, suku, bangsa, bahkan seluruh ciptaan lainnya, seperti: tumbuhan-tumbuhan, binatang dan benda-benda yang ada di sekitar kita, sungai, gunung, laut, dsb. Karena itu Gerakan Oikumene memiliki makna yang luas, yaitu menunjuk kepada “sebuah gerakan untuk menjadikan dunia kita ini menjadi tempat hunian bersama, meminjam istilah Dr. Hope, yaitu menjadi sebuah “Keluarga Allah” (Household of God ), baik antar sesama manusia, maupun di antara sesama makhluk hidup yang lain, termasuk alam di sekitar kita.
Jadi Istilah oikumene sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno dalam cakupan pemerintahan Kekaisaran Romawi. Selanjutnya dicatat bahwa sejak Gereja Kristen menjadi Gereja Negara dibawa pemerintah Kaisar Constatinus Agung pada abad ke empat (Sekitar tahun 300-an), maka pada masa itu, kata oikumene merujuk pada dunia yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan kekristenan Katolik Roma (baca: Gereja Katolik). Namun, munculnya berbagai konflik yang memecah gereja-gereja Katolik membuat istilah ini mengalami pergeseran makna.
Salah satu insiden perpecahan gereja yang menjadi cikal-bakal terbentuknya gerakan Oikumene terjadi pada tahun 325 M. Saat itu, pengikut Arius dinyatakan sesat oleh konsili Nicea I sehingga banyak pengikutnya yang dikejar-kejar dan dibunuh secara massal. Peristiwa serupa kembali terjadi beberapa abad kemudian, tepatnya di tahun 1054. Pengakuan iman Nicea memecah gereja Katolik Roma dengan gereja Ortodoks Timur dan menimbulkan pertikaian sengit di antara dua kubu yang berseteru.
Dengan banyaknya perpecahan yang terjadi, gereja-gereja di seluruh dunia melakukan perundingan untuk menyatukan semua persekutuan gereja bagi umat kristiani. Perundingan ini didasarkan pada doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17: 20-21:
“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.”
Jadi, dapat disimpulkan jika gerakan Oikumene adalah perwujudan doa dan harapan Tuhan Yesus sendiri. Gerakan ini sebenarnya sudah ada sejak lama di Eropa, tetapi hanya beberapa gereja yang ikut serta pada masa-masa awal. Baru pada akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20, Oikumene mulai menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.
II. Gerakan Oikumene di Indonesia
Gerakan oikumene di Indonesia berawal dari pembentukan Dewan gereja-gereja di Indonesia pada tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta dalam konferensi pembentukkan DGI tanggal 22 – 28 Mei 1950 di Jakarta. Kemudian DGI berganti nama dengan menjadi persekutuan gereja – gereja di Indonesia (PGI) sejak siding raya DGI di Ambon 1984 dengan pertimbangan bahwa persekutuan lebih mencerminkan kesatuan lahir batin, lebih mendalam, lebih gerejawi daripada nama dewan. Pembentukkan organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Signifikansi gerakan oikumene di Indonesia adalah karena melihat keadaan gereja – gereja yang sering diwarnai perkelahian dan perpecahan. Harus diakui bahwa persoalan perbedaan pandangan teologis dan ambisi memiliki andil dalam perpecahan. Munculnya banyak denominasi di dunia dan terus ke Indonesia justru mengkotak – kotakkan umat Tuhan. Dan tidak jarang satu denominasi merasa lebih benar, lebih baik dan layak dibandingkan yang lain. Karena itu perlu dicarikan solusi dari keadaan ini melalui gerakan oikumene dengan melihat kepentingan terbesar yaitu Misi Allah (Misiio Dei) yang diemban dengan penuh tanggungjawab oleh gereja. Dengan adanya gerakan oikumene diharapkan terjalin komunikasi dan interaksi diantara umat Tuhan dan gereja-gereja di Indonesia sehingga dapat meninggalkan sikap isolasinya.
Dalam perkembangannya gerakan oikumene di Indonesia juga semakin berkembang. Setelah PGI, kemudian lahirlan organisasi lokal yang oikumenis a.l seperti: Sinode Am gereja – gereja Sulawesi Utara/Tengah, POUK (persekutuan oikumene umat Kristen) di tempat seperti pemukiman, perusahaan di mana umat Kristen dari berbagai gereja bertemu. POUK ini bukan gereja karena itu anggota POUK tetap menjadi anggota gereja masing – masing, Forum komunikasi Antar Gereja. Forum tidak melembaga, hanya merupakan pertemuan untuk membahas masalah – masalah atau maksud maksud lain, wadah ini tumbuh dari prakarsa gereja setempat. Anggotanya tidak terbatas pada gereja anggota PGI.
III. Oikumene Dalam Proses Pergumulan
Dalam banyak diskusi dengan teman-teman pimpinan Gereja (di PGI) saya mendapat kesan bahwa gerakan oikumene saat ini dilihat sedang berada dalam pergumulan. Bahkan Ketum PGI, Gomar Gultom (2011) pernah mengatakan bahwa, gerakan oikumene dewasa ini sedang mengalami “stroke” karena realitas kehidupan bergereja di Indonesia, masih jauh dari harapan. Doa Tuhan Yesus di dalam Yohanes 17:21, agar mereka menjadi satu, supaya dunia percaya, nampaknya belum menjadi nyata di antara gereja-gereja. Gereja-gereja masih berpikir di dalam “kepompong” warisan teologinya sendiri, demikian istilah Robert Setio, seorang teolog yang mengajar di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Gereja kita masih berorientasi pada diri sendiri atau hanya terputar-putar dengan dirinya sendiri, dan melupakan pergumulan serius yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar-nya. Bahkan lebih parah lagi, acapkali masih terjadi perpecahan, perebutan domba di antara sesama anggota PGI. Namun di tengah realitas yang kurang menggembirakan itu, masih ada pula orang-orang yang optimis melihat gerakan oikumene saat ini. Orang-orang ini mempunyai visi untuk selalu mengingatkan cita-cita di dalam doa Tuhan Yesus, sebagaimana dicatat dalam Injil Yohanes 17:21 itu.
Saya pribadi melihat bahwa kegiatan yang sedang dilakukan oleh GERMITA ini salah satu upaya membamngkitkan sikap optimisme tadi, yaitu membangkitkan kembali kesadaran beroikumene di tingkat local, nasional, Asia dan global yang sedang mengalami krisis saat ini. Tentu saja para peserta yang telah mengikuti kegiatan ini harus menjadi “agen” untuk menyebarkan dan menumbuh kembangkan gerakan oikumene pada tingkat local, nasional dan global, saat ini dan masa mendatang. Dalam sikap optimisme itu, diharapkan Gereja-gereja selalu menyadari bahwa Gereja ditempatkan oleh Tuhan Yesus Kristus di tengah-tengah dunia ini untuk memberitakan Injil yang berisi Kabar Baik (Good News) tentang pertobatan dan pembebasan yang dikerjakan oleh Allah di dalam Yesus Kristus. Asia, termasuk Indonesia, adalah lokus (tempat) di mana Allah menggelar karya-Nya untuk menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah”.
Karena itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam rumusannya tentang Lima Dokumen Keesaan Gereja (sekarang diperpendek menjadi DKG (Dokumen Keesaan Gereja), secara sadar menempatkan Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) sebagai dokumen pertama dari Lima Dokumen Keesaan Gereja-gereja di Indonesia. Dalam rumusan DKG tersebut, Gereja-gereja di Indonesia memahami bahwa orang Kristen (Gereja) ditempatkan oleh TUHAN di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia untuk menjadi berkat bagi bangsa ini, bagi semua orang, termasuk mereka yang beragama lain. Realitas Indonesia, baik sejarah maupun kenyataan kemajemukan-nya, dipandang sebagai bagian dari anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk digunakan sebagai kekuatan (modal social) untuk membangun Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.
IV. Gerakan Oikumen dan nasionalisme (Kebangsaan)
Apabila flashback tentang sejarah kebangsaan Indoenesia, tidak dapat dipungkiri bahwa negara Republik Indonesia ini terbentuk melalui perjuangan seluruh komponen bangsa, termasuk tidak lepas dari peranan umat Kristen di Indonesia. Sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI tgl. 17 Agustus 1945 maupun pada masa sekarang, interaksi umat Kristen dalam perjuangan dan pembangunan nasional selalu diinspirasi dan dimotivasi semangat kekristenan yang oikumenis serta rasa memiliki dan semangat perjuangan sebagai bagian dari bangsa. Dalam kitab Yeremia 29:7 “Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Ayat ini menjelaskan bahwa umat Tuhan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan dan masyarakat dimana ia berada. Orang Kristen di Indonesia bukan saja hanya tinggal di Indonesia tetapi juga merupakan bagian dan pemilik negeri ini. Karena itu orang Kristen mutlak harus mengerjakan kesejahteraan negeri ini. Mengusahakan kesejahteraan Indonesi merupakan tenggung jawab orang Kristen baik sebagai warga negara terlebih dahulu sebagai Utusan Tuhan.
Kesadaran kita akan kebangsaan (nasionalisme) juga didasarkan pada pemahaman teologis bahwa Tuhan Allah sesungguhnya yang menganugerahkan bangsa dan Negara Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 dan konstitusi UUD 1945, yang disahkan sehari setelah Indonesia merdeka. Kedua peristiwa tsb, menurut Dr, John Titaley, tidak hanya sebuah realitas sosial politik, tetapi juga adalah realitas teologis. Di situ Allah berkarya dengan menghadirkan kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga menjadi bangsa yang “merdeka”, artinya kita tidak hanya bebas dari penjajahan bangsa lain, tetapi juga menjadi “setara” dalam arti sejajar dan memiliki hak-hak serta martabat yang sama dengan bangsa lain. Tugas kita (orang Kristen) adalah menjaga agar karya Allah itu tidak dirusak, dicabik-cabik oleh kelompok-kelompok radikalisme, intoleran yang marak dewasa ini.
Sekarang ini tantangan bagi umat Tuhan yang semakin berat karena maraknya masalah yang mencabik – cabik rasa persatuan dan kesatuan di tengah anak bangsa. Penghargaan terhadap perbedaan / plurlisme budaya, suku, terlebih dahulu agama seakan tidak lagi mendapat tempat dihati kebanyakan orang.
Dalam gerakan oikumene dalam dinamika pluralisme agama di negara RI seorang Pendeta Perempuan penganjur dialog antara agama di Indonesia Pdt. Elga. J. Sarapung mengatakan bahwa gereja memiliki tugas sebagai berikut: (a). Gereja yang ditunjuk untuk mengembangkan hubungan positif, kreatif, realistis dan transformative dengan pemerintah dan semua pihak di masyarakat. (b). Gereja dipanggil untuk mengambil bagian dalam mewujudkan perdamaian, keadilan (bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah Indonesia) dan keutuhan ciptaan di Indonesia.
Eksistensi gereja sebagai terang dan garam (Mat.5:13,14), harus lebih nyata bagi Indonesia dan dunia. Pandangan yang Eklusifisme (berorientasi pada diri sendiri) harus dikikis dari kehidupan gereja. Kita harus mengembangkan sikap yag lebih (inklusif) dengan dunia dan persoalan-persoalan sosial-kemasyarakat di sekitar kita, khususnya masalah-masalah yang dihadapi masyarakat kita Kabupaten kepulauan Talaud sebagai “beranda” NKRI di Utara Indonesia. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis, gereja yang menjadi gereja sekelilingnya. Gereja sebagai “Saksi Kristus” tidak boleh tinggal diam dengan semua permasalahan yang ada. Persoalan politik, sosial, ekonomi dan lainnya harus disikapi dengan bijak dan dicarikan solusinya. Gereja perlu aktif dalam melakukan transformasi menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Dalam hal kemasyarakatan misalnya gereja harus berperan menyatakan harapannya agar gereja juga memiliki kepekaan dan ikut serta mengatasi problematika kehidupan berbangsa, khususnya masalah kemiskinan, lingkungan dan gerakan-gerakan radikalisme dan intoleransi yang marak sepuluh tahu terakhir ini, karena gereja juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Kemiskinan krisis ekonomi dsb. Sering disebabkan oleh ketidakadilan dan korupsi.
Gereja tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan, krisis ekologis, radikalisme, dan lain sebagainya. Gereja harus berjejaring, membangun relasi dengan gereja lain dan kelompok-kelompok yang peduli dengan persoalan kemanusiaan. Gereja dipanggilan untuk menjadi berkat bagi dunia (Band. Kejadian 12, Pemanggilan Abraham)), bukan semata – mata bagi dirinya sendiri tetapi melayani bagi semua orang (umat manusia).
Di tingkat local (jemaat), gereja harus di dorong dan diajar untuk peduli pada persoalan kemiskinan, krisisis ekologis, serta krisis kebangsaan. Jemaat bisa diberdayakan dengan saling membantu untuk memperhatikan keadaan ekonomi anggota – anggota jemaat dan masyarakat. Salah satu contoh kecil yang dapat dilakukan adalah dengan memberi pelatihan untuk membuat kerajinan tangan, bercocok tanam, melatih memanfaatkan lahan yang ada. Dengan bekerja sama dengan semua pihak dala kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membedakan suku, agama dan ras. Jadi, realitas yang ada, harapan yang dimiliki, tugas panggilan Allah bagi gereja untuk bangsa dan dunia, maka umat Tuhan harus terus beroikumene, bekerja sama menyuarakan suara bagi bangsa Indonesia, mengukur dan mengupayakan pelaksanaan persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat NKRI.
V. Oikumene in Action
Gerakan oikumene seharusnya terjadi di dalam praxis dengan realitas masyarakat di sekitarnya, keterbukaan dengan budaya dan orang-orang beragama lain di sekitar kita. Oleh karena itu saya berkesimpulan bahwa gerkan oikumene harus dikembalikan kepada spirit awalnya yaitu:
Pertama, gerakan oikumene memang adalah sebuah gerakan dari orang Kristen (Gereja-gereja) untuk semakin menyatu (mengesa) sebagai “Tubuh Kristus”, sebagaimana doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17:21 “Supaya mereka semua menjadi satu”. Tetapi gerakan itu kemudian meluas dengan melibatkan semua elemen masyarakat yaitu saudara-saudara kita yang berasal dari berbagai latar belakang agama, suku (etnis), budaya yang lain, untuk berada dalam sebuah gerakan bersama menghadirkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaaan (Justice, Peace and Integrity of Creation), atau dalam bahasa umat Kristiani yaitu menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah” di bumi ini.
Kedua,, gerakan oikumene tidak boleh hanya berhenti pada pertemuan-pertemuan para pimpinan gereja di tingkat regional, nasional dan global, walaupun itu juga penting. Namun harus disertai dengan aksi (action) untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di dunia ini. Dunia kita dewasa ini sedang menghapi berbagai masalah seperti, masalah kemiskinan, krisis lingkungann, global warming dan cimate change, jurang yang semakin menganga antara negara kaya dan miskin, masalah pelanggaran HAM, penyebaran HIV/AIDS, dan ancaman radukalisme, intolerasi dan Terorisme,yang semakin mengkuatirkan kita semua. Masalah tersebut mengancam kehidupan seluruh umat manusia yang tinggal di desa global ini, khususkita di Indonesia (Talaud). Persoalan-persoalan tersebut tentu tidak bisa dihadapi secara sendiri oleh satu agama, atau satu bangsa saja. Karena itu, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak, termasuk semua umat beragama. Hanya dengan kerjasama dari semua pihak, maka visi tentang keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dapat diwujudkan di bumi kita ini. Dalam konteks itulah, maka gerakan oikumene (ecumenical movement) menemukan relevansinya yang significant, baik di dalam kehidupan internal gereja-gereja itu sendiri, khususnya Gereja Masehi Injili Talaud (GERMITA), maupun di dalam hidup masyarakat, bernangsa dan bernegara yang kita cintai dan lebih khsusus lagi di Kabupaten kepulauan Takaud Sulawesi Uatara sebagai Beranda terdepan Indonesia di Kawasan Asia Pasifik.
Penutup
Demikianlah materi ini dapat kami sampaikan, kiranya dapat membuka wawaan kita di sekitar masalah gerakan oikumenis dan tantangannya yang sedang dihadapi dewasa ini. Tuhan memberkati!
**************